Siapa yang kemudian tidak kenal dengan seorang sosok sahabat
Rasulullah shallahu’alaihiwassalam yang sangat tegas, keras dan
pemberani, yaitu Umar bin Khattab.
Ketegasan dan
keberaniannya membuat orang-orang kafir tunggang langgang jika harus
kemudian berhadapan dengannya. Seseorang yang dahulunya jahiliyah bahkan
mengubur hidup-hidup anak kandungnya sendiri karena tradisi
kejahiliyahan walaupun ia melakukannya penuh dengan isak tangisan "Aku
menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian
menyisir janggutku". Bukan hanya itu, dia bahkan sangat marah dan
memukul adiknya ketika diketahui telah memeluk ajaran “sesat” yang telah
di bawa oleh seseorang yang bernama Muhammad. Tapi kemudian disitulah
hidayah melumpuhkan hatinya hingga kemudian syahadat terlantun dari
bibir lantangnya.
Umar bin Khattab
memiliki julukan khusus yang diberikan oleh Rasulullah saw yaitu Al
FAruq yang berarti Sang Pembeda. Dalam sebuah hadist Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim dikatakan
bahwa “Allah telah menempatkan kebenaran pada lisan dan hati Umar.
Dialah mampu membedakan yang hak dan yang batil,” sehingga karena itulah
Rasulullah saw memberikan gelar tersebut pada Umar.
Kemudian Al Faruq
juga diartikan sebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan
orang-orang kafir di zaman itu. Di saat Nabi berdakwah secara
sembunyi-sembunyi, Umar justru bertanya dengan lantangnya “Ya
Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?” “Ya” jawab
Nabi, “Jika demikian, mengapa kita diam-diam mendakwahkan ajaran kita?
Demi Dzat yang mengutusmu atas nama kebenaran, saatnya kita keluar”.
Setelah itu Nabi bersama dua barisan yang di pimpin oleh Umar dan Hamzah
hingga tak satupun orang Quraisy yang berani menggangu mereka.
Suatu ketika
Khalifah Abu Bakar dipenghujung umurnya banyak bertanya kepada
orang-orang meminta pendapat tentang eorang yang keras tapi penyayang,
Umar bin Khattab. Hampir kesemua orang mengatakan bahwa Umar adalah
seseorang yang keras namun jiwanya sangat baik, hingga kemudia Abu Bakar
meminta Ustman bin Affan untuk menulis wasiat bahwa penggantinya nanti
adalah Umar.
Kemudian kita akan
bercerita tentang dua kisa kepemimpinan Umar yang mungkin akan sangat
bertentangan dangan jalan berfikir banyak orang, apalagi kultur dari
budaya bangsa Indonesia sendiri.
Kisah Pertama
Suatu ketika Umar
bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan
dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing
dalam masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian
ia melanjutkan.
"Sesungguhnya
seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa
lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk
kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah.
Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas
yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk
membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu
sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus
diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal."
Selesai
khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya
berkata; "Ya Amiirul Muminin, saya datang dari Mesir dengan menembus
padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam.
Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan."
"Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku," ujar Umar.
"Saya
telah dihina di hadapan orang banyak oleh Amr bin Ash, gubernur Mesir.
Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama."
"Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?" tanya khalifah Umar ragu-ragu.
"Ya Amiirul Muminin, benar adanya."
"Baiklah,
kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau
harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada Amr aku berikan dua
orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat
melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali."
"Baik
ya Amiirul Muminin. Akan saya laksanakan semua itu," jawab orang itu
seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur
Mesir Amr bin Ash.
Ketika
sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya. "Ya Amr,
sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan
untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk
menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar
telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum."
"Apakah kamu akan menuntut gubernur?" tanya salah seorang yang hadir.
"Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia," jawab lelaki itu tegas.
"Tetapi, dia kan gubernur kita?"
"Seandainya yang menghina itu Amiirul Muminin, saya juga akan menuntutnya."
"Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri."
Maka banyaklah yang berdiri.
"Apakah kamu akan memukul gubernur?" tanya mereka.
"Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali."
"Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu."
"Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu," jawabnya .
"Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya," bujuk mereka.
"Saya tidak suka pengganti."
"Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun."
"Demi
Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela
pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum,"
ujarnya seraya meninggalkan tempat.
Amr
binAsh serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia
menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia
selamat di dunia.
"Ini
rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu," kata gubernur Amr bin Ash sambil
membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
"Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, jalankan saja keinginanmu itu," jawab gubernur.
"Tidak,
sekarang aku memaafkanmu," kata lelaki itu seraya memeluk gubernur
Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.
Kisah Kedua
Sejak menjabat
gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering
tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah
yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
Singkat
kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk
bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk
menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat
dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.
Sepeninggal
Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan
surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain
menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan
kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
“Ada
perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin
Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan
seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu
mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana
untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan
pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh
Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan
kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil
sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
Dia
cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan
gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas
dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu
pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh
subversif.
Yahudi itu
semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin
Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat
dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju
gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar
saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang
sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!”
teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik
ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu
sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja
bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash
memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang
biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.
“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah,
tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya
kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf
alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke
bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan
keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang
gubernur.
“Sungguh
agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk
itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek
itu dengan mata berkaca-kaca.
Hikmah
Kita telah sama-sama
membaca kisah Umar bin Khattab di atas. Itulah sikap Umar yang tegas,
keras, tapi justru sangat lembut jiwanya dalam menegakkan keadilan, yang
mungkin justru terkadang tidak mudah untuk memahaminya jika kemudian
hanya dilihat dengan kasat mata padahal keadilan adalah tujuan utamanya.
Bahkan seorang Umar
tidak segan jika kemudian harus mencambuk Gubernurnya jika benar
melakukan kesalahan. Bukan hanya itu, sebuah masjidpun akan dia robohkan
jika tegak di atas ketidak adilan. Sosok mulia yang tak peduli apa
penilaian manusia padanya karena Allah subhanuwata’ala yang kemudian
menjadi tujuan perjalanannya.
Tentunya jika sosok
seorang Umar hadir hari ini di tengah-tengah kita maka kita akan sangat
lebih sulit lagi untuk mencernanya. Karena medan fitnah yang berbeda dan
cara juang menegakkan islam yang berbeda pula walaupun tetap Jihad tak
berubah nama. Tapi justru islam akan kuat dengan orang-orang semacam
Umar di dunia ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah
shallahu’alaihiwassalam dalam doanya "Ya Allah, buatlah Islam ini kuat
dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau
Umar bin Khattab."
Kita merindui sosok
seorang Umar, yang lantang dalam berkata-kata dan menegakkan keadilan
tanpa perduli apa yang diucapkan manusia padanya.(redaksiINPALA)
Sumber : Islamedia
0 komentar:
Posting Komentar